Sabtu, 09 Januari 2010

Impian Gila…?




Dari barisan awan mendung termenung sore ini. Tampakkan wajah Malang yang kian teraniaya. Seakan ia mencoba keluar dari labirin berjuta tikungan. Dan kian Malang telah tertindih beribu mimpi mimpi penuh emosi gelandangan perempatan. Mimpi yang tak dikejar kelamaan hanya kan jadi ilusi. Mimpinya seperti nasi yang telah basi.
Mimpi tersebut digantungkan pada bintang setinggi stratus , dan dibiarkan jatuh hingga menuju inti bumi. Mereka buang mimpi mimpi mereka. Harapan mati, tak ada usaha bagiku tanpa harga diri.
Itulah yang buat aku berani melenggangkan kakiku di tempat yang mereka sebut Malang. Dimana banyak mimpi dan harapan bergelimpangan di pinggir jalan. Ditinggalkan empu nya demi mengisi lambungnya yang telah menjerit njerit berunjuk rasa.

Datang kemari pun aku hanya berbekal sebuah senyuman ayah. Tak lupa juga bermacam nasihat dari merdu suara ibuku mengisi setiap rongga telingaku. Masalah lembaran berharga atau yang kita biasa sebut Uang, aku telah buka gembok celenganku. Hah, celengan itu lebih aman daripada sebuah bank, dimana korupsi besar besaran tak kan terjadi didalamnya.
Dari Stasiun Kota aku menuju ke sebuah lapangan. Rampal namanya. Tempatku bertemu dengan anak - anak gila itu. Pertemuan dengan mereka seakan baru kemarin tibanya. Pertemuan dengan orang - orang yang di dalam otaknya telah di-set untuk mengerjakan dan mewujudkan impian - impian gila. Dan aku bahkan adalah seseorang yang telah terbujuk rayu oleh impian itu. Bahkan aku mengira mereka telah mencuci otakku dengan deterjen dan pewangi sekaligus.
Tak ada perasaan curiga dalam darahku saat tiba di kota ini. Hanya melenggang seakan jalanan berubah menjadi emas, yah seperti biasanya. Ku teruskan pikiranku yang tuntun kakiku menuju Rampal.
Tapi tak terkira. Dua orang bertubuh tegap menghampiriku. “Gedy, kah ?” Tanya seseorang yang mukanya seperti telah disayat sayat harapan kosong. “Itu bukan aku, sepertinya anda salah orang.” Jawabku bohong, kusembunyikan rasa heran di wajahku dan bertanya dalam hati “Mengapa mereka bisa tahu namaku ?”.
Lalu kutinggalkan mereka yang terus menatapku tajam, seakan mereka dapat menegetahui apa yang ada dalam pikiranku. Aku pun setengah berlari menuju jalan terdekat ke Rampal. Anehnya dua orang tersebut turut berlari mengikutiku sepanjang jalan. Mereka seperti pemancing ikan yang takkan melepaskan ikan Tuna di kaitnya.
Tak dapat kusangka. Salah seorang dari mereka mencengkram lenganku penuh tenaga. Tanganku dibuat mati rasa olehnya. Ia pun menyeretku. Tapi tiba tiba datang sirine mobil polisi mendengung dengung memecah jalan menjadi sebuah karpet merah. Wajah Dua orang tersebut berubah dari garang menjadi pucat kepanikan.
Dua orang tersebut berusaha mencari jalan keluar dari kerumunan. Tapi tak ada daya. Para petugas abdi bangsa mengepung setiap jengkal jalan yang dapat dilewati. Mereka pun diseret begitu juga tubuhku, menuju sebuah mobil polisi. Ku berteriak kebingunan dan seorang polisi mencoba menenangkanku.
Setibanya di kantor polisi aku pun dijelaskan pokok permasalahnnya. Ini berhubungan dengan sindikat peredaran ganja di kota ini. Untuk lebih lanjutnya lagi, aku dibawa mereka ke sebuah tempat dimana tempat peredaran tersebut akan dibuka tabirnya oleh para polisi ini.
Di dalam mobil polisi ku melihat setiap jalan yang telah dilalui. Aneh. Aku sangad mengenal setiap detik yang kulalui di jalan yang kulewati ini. Jalan ini menuju Rampal !!!
Semakin terperanjat mataku. Saat mobil mobil polisi ini berhenti disebuah rumah. Sebuah rumah yang akan kutuju dari stasiun kota. Tak ambil lama para polisi itupun segera masuk sambil berderap langkah mereka.
Dan ketika beberapa orang keluar terperangkap tangannya oleh borgol yang dilingkarkan itu. Wajah dari orang orang yang harusnya ku banggakan. Wajah dari anak anak dengan impian gila itu, memandangku. Entah benci atau sesal arti pandangannya. Tapi tak dapat kusangka, entah karena impian gila itu atau karena kebutuhan lambung. Mereka melakukan hal tak waras seperti ini. Demi impian-impian gila, mereka telah menjadi pengedar Ganja !!!!

by :

0 komentar:

Posting Komentar